Mengintip keunikan suku Tengger
8 Oktober 2018
8 Oktober 2018
Apa anda sudah pernah mengunjungi Gunung Bromo? Gunung yang berada di Pasuruan, Jawa Timur yang terkenal dengan view sunrise nya. Hingga kini, gunung tersebut masih dijaga kesakralannya oleh suku Tengger.
Jika ditelisik lebih dalam, suku Tengger tidak hanya menjaga gunung Bromo. Dibalik itu, mereka punya keunikan dalam adat dan budaya. Suku Tengger adalah suku yang bertempat tinggal di wilayah puncak Bromo. Mereka tersebar di daerah Tosari-Kabupaten Pasuruan, Sukapura-Kabupaten Probolinggo, Lumajang dan Kabupaten Malang.
Suku ini merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit. Pada umumnya, masyarakatnya beragama Hindu. Mereka sampai saat ini hidup dengan adat dan tradisinya sendiri. Tidak terpengaruh modernisasi zaman. Padahal tempat tinggal mereka sangat mudah dijangkau para wisatawan, baik dari dalam dan luar negeri.
Akulturasi (pergerakan) budaya sangat rentan terjadi. Namun, selama berabad-abad, suku Tengger tetap mampu mempertahankan karakteristiknya. Sehingga adat dan budaya sampai saat inipun masih tetap lestari.
Bagi suku Tengger, Karo adalah hari raya yang paling dinanti. Ini adalah hari raya terbesar bagi mereka. Karo diselenggarakan setelah Hari Raya Nyepi.
Disana digelar ritual adat. Nah, uniknya, ritual ini dipimpin oleh seorang “Ratu”. Ratu yang dimaksud oleh masyarakat Tengger ini bukan seorang perempuan. Tetapi mempunyai arti seorang pemimpin yang memimpin doa. Ada juga yang menyebutnya Dukun. Ratu disini berjenis kelamin laki-laki.
Prosesi dalam acara Karo meliputi; pawai hasil bumi, kesenian adat seperti tarian Karo yang benama tari Sodoran. Kemudian diikuti dengan silaturahmi ke rumah tetangga dan saudara. Kegiatan adat ini bertujuan sekaligus sebagai pemersatu suku Tengger.
Ya, itu adalah kesenian adat khas Tengger. Kalau Takaiters melihat langsung dari dekat, Ojung lebih mirip dengan duel satu lawan satu. Masing-masing peserta membawa rotan untuk dicambukkan pada lawannya. Siapa tercepat dan mengenai sasaran beberapa kali, itulah pemenangnya.
Tapi, Takaiters, Ojung sebenarnya bukan hanya kesenian semata. Itu adalah ritual suku Tengger untuk meminta hujan kepada Sang Maha Kuasa. Biasanya dilakukan saat musim kemarau panjang.
Tradisi Ojung dibuka dengan pagelaran dua tarian. Yaitu tari Topeng Kuna dan tarian Rontek Singo Wulung. Tarian itu mengisahkan seorang tokoh desa yang dianggap pahlawan pada masa lalu, yakni Ju Seng, karena kegigihannya dalam mengusir penjajah. Ju Seng pada masa itu adalah seorang demang yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh pengikut setianya bernama Jasiman dan murid-muridnya.
Konon pada masa itu, untuk membiayai perjuangannya melawan penjajah, Juk Seng kerap mengamen dengan menggelar pertunjukan dua tarian tersebut. Setelah pagelaran tarian selesai dilanjutkan dengan pertandingan dua lelaki yang berusia rata-rata antara 17 hingga 50 tahun. Mereka saling memukul dengan menggunakan rotan. Budaya ritual Ojung ini menggambarkan kekuatan dan kekebalan fisik pesertanya.
Yadnya Kasada atau lebih terkenal dengan nama Kasodo. Upacara ini menjadi tontonan unik yang selalu dinanti para wisatawan dunia. Karena Kasodo hanya dilakukan oleh masyarakat beragama hindu yang ada di daerah Tengger.
Kasada merupakan salah satu ritual meminta pengampunan dari Brahma. Dalam upacara ini, suku Tengger sangat kompak. Mulai anak-anak hingga orang dewasa melakukan pengorbanan yang dimasukkan ke kawah Gunung Bromo. Pengorbanan tersebut bisa berupa sesaji makanan, hewan piaraan, uang, dan pakaian.
Dalam Upacara Kasada, perlengkapan sesaji yang digunakan memiliki dua unsur penting yaitu kepala bungkah dan kepala gantung. Sedangkan bagi beberapa orang yang memiliki permohonan khusus, disyaratkan untuk membawa ayam atau kambing sebagai persembahan.
Asal mula terjadinya upacara Kasodo ini berhubungan dengan nama suku Tengger itu sendiri. Tengger berasal dari nama Roro Anteng dan Joko Seger. Teng diambil dari “anteng” dan ger dari “Seger”. Upacara Kasada erat dengan cerita Roro Anteng dan Joko Seger yang sangat ingin memiliki keturunan. Merekapun akhirnya memohon kepada Dewata agar bisa memiliki 25 orang anak. Permohonan mereka dikabulkan, tetapi dengan syarat anak yang ke-25 yang bernama Kusuma harus dipersembahkan untuk Dewa Brahma (Bromo).
Ketika dewasa, Kusuma, anak dari Roro Anteng dan Joko Seger menceburkan diri ke kawah Gunung Bromo dan meminta saudara-saudaranya agar pada bulan ke-10 (tahun Saka), tepat pada bulan purnama memberikan kurban ke kawah Gunung Bromo. Upacara ini kemudian menjadi awal mula dilaksanakannya upacara Kasada.
Rumah adat
Rumah adat